Kejadian Penyakit Menular Akibat Sanitasi yang Buruk di Provinsi NTB
Air bersih dan sanitasi yang layak adalah dua kebutuhan yang tidak bisa dipisahkan dan sangat penting dalam menunjang kesehatan manusia. Apabila salah satu dari kedua kebutuhan tersebut tidak terpenuhi dengan baik, maka deretan penyakit akan siap menunggu siapa saja tanpa terkecuali. Kebiasaaan dan lingkungan yang buruk memicu hadirmya penyakit yang dapat menyerang tubuh. Sayangnya, kondisi ini masih cenderung diabaikan oleh masyarakat, terlebih pada golongan menengah ke bawah yang tinggal di lingkungan padat penduduk.
Dampak akibat sanitasi yang buruk bagi kesehatan yaitu dapat menyebabkan penyakit kolera, disentri, diare, haptitis A, keracunan timbal, polio, trachoma, tetanus neonatrum, dan sebagainya. Namun, salah satu masalah kesehatan terbesar di masyarakat yaitu diare. Diare adalah gangguan buang air besar/BAB ditandai dengan BAB lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja cair, dapat disertai dengan darah dan atau lendir. Penyakit yang berbasis lingkungan ini umumnya terjadi karena masih buruknya kondisi sanitasi dasar, lingkungan fisik yang buruk, dan rendahnya perilaku masyarakat untuk hidup bersih dan sehat. Penyakit diare dapat berakibat fatal dan menjadi penyakit berbahaya karena dapat menyebabkan kematian dan menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Terlebih lagi, jenis penyakit yang satu ini ternyata dapat menular melalui air, tanah, atau makanan yang telah terkontaminasi oleh virus, bakteri, atau parasit. Berikut adalah data mengenai kasus penyakit diare yang terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa jumlah kasus diare yang dilayani tahun 2021 di Provinsi NTB adalah yang terendah selama periode tahun 2017-2021. Hal ini dimungkinkan karena meningkatnya perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat. Berdasarkan Dinas Kesahatan Provinsi NTB tahun 2022, proporsi rumah tangga dengan akses sanitasi layak pada tahun 2019 sebesar 75,02%. Meskipun cakupan ini telah melampaui target, namun artinya masih terdapat sekitar 25% penduduk NTB yang belum dapat mengakses sanitasi layak. Pada tahun 2020, proporsi rumah tangga dengan akses sanitasi sebesar 80.27 dengan target sebesar 75.72% artinya tercapai dengan kreteria sangat tinggi. Namun, masih terdapat sekitar 19% masyarakat yang belum akses sanitasi layak. Hal ini berpotensi adanya perilaku buang air besar di sembarang tempat baik itu ke sungai, sawah, kolam, kebun, dan tempat terbuka lainnya. Fakta ini menunjukkan bahwa secara umum masyarakat NTB mempunyai resiko tinggi untuk terkontaminasi berbagai bakteri dan penyakit yang disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tercemar oleh tinja manusia seperti diare, kecacingan, ataupun infeksi. Infeksi yang terjadi juga dapat mengakibatkan rendahnya status gizi pada balita dan akan berisiko mengalami stunting bahkan dapat menimbulkan kematian.
Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi NTB untuk mengatasi masalah ini yaitu dengan mengambil tindakan berupa Gerakan Buang Air Besar Sembarangan Nol (BASNO). BASNO merupakan kebijakan Pemerintah Daerah untuk mewujudkan perubahan perilaku yang hygine dan saniter di masyarakat dengan pendekatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Gerakan ini lahir karena keprihatinan dengan kondisi akses masyarakat pedesaan terhadap sanitasi NTB yang tidak bertambah secara signifikan dalam kurun waktu tiga puluh tahun terakhir. Dalam implementasi BASNO dengan pendekatan STBM, terdapat pengembangkan 3 komponen kegiatan utama yaitu, (1) penciptaan lingkungan pendukung (2) penciptaan kebutuhan untuk perubahan perilaku yang hygiene dan saniter (Demand) dan (3) Peningkatan penyediaan sarana sanitasi di masyarakat (Suply).
Ternyata masih ada beberapa wilayah yang belum mendapatkan air bersih dan sanitasi yang layak. Semoga kedepannya pemerintah dapat mengatasi masalah ini karena termasuk dalam SDGs juga
BalasHapus